Akhmad Khusni Mubarok merupakan Nahdliyin muda yang saat ini tinggal di Kebumen. Ikut berpartisipasi dalam kepengurusan PC GP Ansor Kabupaten Kebumen. Aktif di DPD KNPI Kebumen.
Kamis, 04 Juni 2009
TOKOH NU YANG MEMBESARKAN BUDAYA ISLAM INDONESIA
Gelar Doktor untuk Gus Mus
Wednesday, 3 June 2009 16:19
9)
“KALIAN kibarkan bendera Rasulurrahmah Al-Amien di mana-mana, sambil menebarkan laknatan lil aalamien ke mana-mana. Ada apa dengan kalian? Bibir kalian rajin berdzikir, tapi akal kalian berhenti berpikir, hati kalian penuh kibir dan laku kalian sangat kikir. Ada apa dengan kalian?”
—
Itulah penggalan sajak A. Mustofa Bisri (Gus Mus), pimpinan Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, yang baru saja mendapat penganugerahan doktor honoris causa dalam bidang kebudayaan Islam dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 30 Mei 2009 lalu.
Banyak yang bertanya, mengapa UIN Sunan Kalijaga memberikan gelar kehormatan kepada Gus Mus? Tentu jawabannya karena beliau adalah “pawang kultural” yang berhasil memperjuangkan dialog budaya dalam pemikiran sosial keagamaan. Beliau adalah salah satu dari sedikit tokoh yang berhasil menciptakan citra Islam Indonesia secara positif di mata internasional, sebagai agama yang inklusif dan dialogis.
Penganugerahan gelar doktor honoris causa kepada Gus Mus, dalam konteks kehidupan di Indonesia, menurut saya adalah momentum yang sarat makna. Betapa tidak? Keragaman budaya, suku bangsa, ideologi politik, dan terutama agama, merupakan fenomena yang khas di Indonesia. Keragaman ini positif jika saja ia tercipta dalam satu realitas yang harmonis dan toleran. Namun, justru dengan keragaman ini, masyarakat kita sering terjebak pada pertikaian, konflik, dan kekerasan.
Kondisi ini terjadi ketika agama dan budaya -lewat campur tangan sejarah- mengklaim atas satu kebenaran yang absolut, mutlak, dan tak tergugat melalui perantara tafsir yang monolitik dan tidak peka atas realitas yang tidak tunggal.
Banyak insiden yang terjadi di negeri ini menampakkan bahwa masyarakat kita belum mampu hidup di tengah-tengah keragaman budaya. Keragaman budaya masih saja menjadi faktor penyebab perselisihan antara sesama warga Indonesia yang acapkali melahirkan pertumpahan darah.
Indikasi konkret dari kenyataan itu adalah munculnya konflik SARA di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia seperti Poso, Ambon, menjadi saksi betapa mudahnya nyawa melayang hanya karena perbedaan agama dan budaya. Tidak sedikit wilayah di Indonesia yang porak-poranda karena adanya kemajemukan.
Secara faktual, sangat ironis kemajemukan justru menjadi penyebab adanya pertumpahan darah. Dari peristiwa itu, banyak nyawa melayang sia-sia. Dinamika seperti itu tentu saja menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia yang (katanya) menjunjung tinggi demokrasi.
Paradigma Multikulturalisme
Saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi arus ganda persoalan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi Indonesia harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemoni budaya.
Namun, di sisi lain, bangsa Indonesia tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam keragaman budayanya sendiri, baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini, munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.
Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal Indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional. Karena itu, multikulturalisme seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep masyarakat majemuk yang selama ini masih melekat dalam karakteristik masyarakat Indonesia.
Paradigma multikulturalisme merupakan fenomena baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan kesejahteraan hidup yang sama bagi semua orang. Paradigma multikulturalisme sudah seharusnya menjadi acuan utama Indonesia yang penduduknya relatif heterogen. Paradigma ini adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Indonesia sebagai masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen yang pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai satu sama lain.
Kembali pada penganugerahan gelar honoris causa kepada Gus Mus, selayaknya momentum itu dijadikan proses penyadaran di antara setiap budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamaian. Peran negara sebaiknya hanya memfasilitasi bagi terciptanya toleransi antarentitas sosial budaya, dan bukan memainkan peran intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KAMI TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS SEGALA KOMENTAR ANDA.
JANGAN BERKOMENTAR YANG BERBAU SARA..
MOHON MENCANTUMKAN EMAIL DAN ATAU NOMERVTELEPON.